Siang itu, Walter Thomas (92) melangkah perlahan menuju ke sebuah lemari tua. Lemari itu berdiri persis di sudut ruang tamu rumahnya. Di dalamnya bertumpuk buku-buku klasik dan dokumen-dokumen bersampul tua. Terlihat juga beberapa lembar foto tercecer tak beraturan, serta barang-barang antik koleksi milik keluarganya.
Sorot matanya yang tak lagi muda itu sedang berupaya mencari sebuah benda. Tak berselang lama, tangannya meraih sebuah pipa bambu yang terletak di bagian permukaan atas lemari penuh debu itu. Rupanya itu sebuah terompet dengan warna cat merah-putih.
Terompet bambu andalannya kini berada dalam genggamannya. Walter menghela napas cukup dalam dan dengan sikap siap ia segera meniup moncong terompet itu dengan lembut.
Pekikan terompet itu berhasil memecah keheningan percakapan kami di siang hari itu. Alunan tinggi-rendah nada yang kemudian bersatu-padu seirama menghasilkan harmoni yang indah tertangkap telinga.
Walter meniup terompet saktinya itu dengan penuh perasaan. Suara dari dalam terompetnya itu seolah bercerita tentang banyak hal kepada kami. Tentang kenangan setiap orang yang pernah hadir dalam hidupnya. Tentang semua kisah dan kasih yang pernah datang, tinggal, lalu pergi ditelan waktu.
Kami sungguh menikmati momen perjumpaan ini. Tak lupa kami abadikan fotonya yang sedang senyum riang sembari memegang terompet legendarisnya itu.
Terompet merah-putih berhasil kami pinjam dan pamerkan di Festival Duma Mia Tahu 2025. Alat musik tradisional milik sesepuh tertua di Desa Duma ini menjadi salah satu ikon yang sukses menarik perhatian para pengunjung.
Dalam pengakuannya, terompet berbahan bambu itu dibuat kira-kira pada tahun 2003. Persis saat ia sementara berada di tempat pengungsian bersama orang-orang Duma di Manado, Sulawesi Utara.
Melihat terompetnya sama dengan membawanya kembali pada berbagai peristiwa bersejarah di negerinya. Tentang kisah kelam yang pecah pada dua dekade silam. Tentang tragedi yang membuat sesama saudara harus saling menumpahkan darah. Tragedi itu telah memaksa Walter dan orang-orangnya keluar dari kampung dan menjadi orang asing di negeri asing.
Namun, terompet tua itu juga menampakkan kisah lainnya.
Tentang doa-doa pergumulan dan ratapan yang dinaikkan dari waktu ke waktu. Tentang nyanyian-nyanyian perjuangan dan pengharapan, yang terus diiringi dari kejauhan guna mewujudkan suasana negeri yang aman dan damai.
Terompet itu menyimpan sejuta suara damai dari Walter bersama kelompok musik bambu Desa Duma. Kelompok musik bambu ini selalu tampil terdepan– dan nyaris tak pernah absen mengisi ruang-ruang publik. Di masjid-masjid, di gereja-gereja, di lapangan-lapangan terbuka, mereka dengan suka cita melantunkan suara perdamaian. Suara damai itu ditiupkan sekencang mungkin di tengah gegap gempit pembangunan kembali Halmahera dari puing-puing kehancurannya.
Sejak muda, Walter memang sudah terkenal lincah memainkan beragam alat musik. Dua diantaranya adalah seruling dan terompet.
Dalam penuturannya, ada sebuah momen bersejarah, yang membuatnya merasakan pengalaman terbaiknya saat masa muda. Momen itu terjadi pada sekitar pertengahan 1954, tepatnya saat Presiden Soekarno, untuk pertama kalinya menapakkan kaki di negeri Hibualamo.
Suasana saat itu sangat ramai. Orang-orang berdatangan dan memenuhi area pelabuhan Tobelo. Warga di negeri Hibualamo ini seolah berlomba-ria dan berdesak-desakan menyambut seseorang berjuluk Pahlawan Besar Revolusi (PBR) ini berkunjung.
Walter, yang mulanya berlatih menjadi salah satu anggota pandu, kemudian diminta oleh Leopold Thomas (ayahnya) dengan dasar perintah Sangaji Tobelo untuk memimpin grup musik bambu. Secara kilat, ia diminta mengiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Tanpa menolak, Walter siap mengorganisir grup musik bambu Duma.
Singkat cerita, ketika Bung Besar itu turun dari kapal dan kakinya menyentuh lantai pelabuhan Tobelo, tiba-tiba….. “tettt…teret… teretetett….,” melodi lagu Indonesia Raya itu meledak melalui terompet Walter yang diikuti oleh harmoni suara musik bambu. Gema lagu kebangsaan seketika memenuhi udara di pelabuhan.
Di pelabuhan itu, sang peniup terompet muda itu berdiri tegak. Matanya berbinar penuh bangga. Ia melihat sang Proklamator itu berjalan perlahan, dan melambaikan tangan dengan senyuman hangatnya menyapa warga. Warga pun memanggil-manggil nama Bung Besar itu, disertai sorak penuh antusias. Meriah.
Perasaan Walter bercampur aduk. Senang, haru, dan bangga menyelimuti sekujur tubuhnya. Sebab dia dan musik bambu Duma sukses mengiringi kedatangan Presiden dan jajaran pemerintah pusat.
Dari ujung corong terompet itu barangkali Walter hendak menyampaikan sebuah seruan, bahwa: “Hei, Bung. Dengarlah suara kami. Suara anak-anak negeri ini. Suara yang bersepakat untuk bergabung dengan Indonesia. Suara yang telah menyatakan komitmen kebangsaan untuk membawa tanah dan air negeri tercinta ini untuk Indonesia. Jagalah dan sejahterakanlah negeri ini. Merdeka!”.
Narasi: Roberto Duma Buladja
Foto: Michelin Sallata