Pengantar
Beberapa bulan terakhir, hidup saya seperti berada di sebuah padang gurun yang panjang dan sunyi. Di tengah perjalanan hidup untuk menyelesaikan pendidikan, dan pergumulan hidup lainnya, saya menghadapi begitu banyak tekanan demi tekanan yang rasanya menyesakkan dada dan tidak ada seorang pun yang tahu. Tidak hanya soal biaya hidup ditanah rantau ataupun tugas sebagai mahasiswi semester akhir, tetapi juga soal ketidakpastian arah, pertanyaan-pertanyaan besar tentang makna, tentang tujuan, tentang keberadaan saya sendiri terus menghantui pikiran saya setiap detik seiring berjalannya jarum jam. Saat saya berusaha untuk berharap ada dukungan dari orang-orang terdekat, justru yang saya temui adalah luka. Ada orang-orang yang saya percaya justru menjadi sumber kekecewaan, bahkan menyakiti dan membenci saya, yang jika ditumpuk terasa seperti beban besar di punggung yang rapuh. Lebih menyakitkan lagi ketika saya berharap bahwa “rumah” yang seharusnya menjadi tempat pulang, justru terasa asing.
Saya merasa sendirian dan mempertanyakan banyak hal. Mengapa saya harus melalui semua ini? Mengapa begini? Mengapa begitu? Dan sebagainya. Namun di titik terendah itu, saya justru menemukan cahaya kecil dari arah yang tak terduga. Tuhan mempertemukan saya dengan banyak hal yang menakjubkan dan membuka mata hati saya dan mulai melihat bahwa Tuhan tidak pernah benar-benar meninggalkan saya. Ia hanya sedang membentuk saya dengan cara yang tidak selalu saya mengerti seperti luka, jatuh, gagal, kecewa dan sakit.
Darah: Pengorbanan yang Membebaskan
Dalam tradisi Kekristenan, sebagai pengikut Kristus kita mengenang dan merayakan momen penderitaan Kristus yang dimulai dari Rabu Abu sampai pada kebangkitan Kristus. Hari ini, kita mengenang dan memaknai Jumat Agung atau kematian Yesus yang tergantung di atas kayu salib, tubuh-Nya tercabik, darah-Nya menetes tanpa henti, paku yang tertancap pada tubuh-Nya. Dicatat dalam Alkitab khususnya kitab Injil bahwa Yesus sampai berseru “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”, yang berarti: Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Ini adalah jeritan hati seseorang yang sementara merasakan beban dan penderitaan yang begitu berat. Kita bisa membayangkan bagaimana perasaan Yesus waktu itu ketika Dia dipermalukan hampir ditelanjangi, pakaian-Nya ditanggalkan lalu diundi di dekat-Nya dan sebagai manusia Dia tidak hanya ditolak oleh manusia, tetapi juga merasa ditinggalkan oleh Allah Bapa-Nya. Kalau bisa pinjam bahasa anak muda zaman sekarang Yesus itu seperti di ghosting oleh Allah Bapa-Nya bahkan oleh kita yang menyatakan diri sebagai pengikut Yesus.
Penderitaan yang dialami oleh Yesus tidak hanya sekedar penderitaan fisik, tetapi juga penderitaan batin maka lengkaplah sudah penderitaan Yesus sampai akhirnya Yesus harus mati dikayu salib. Itulah wujud nyata KASIH yang mau ditunjukan oleh Allah melalui pengorbanan Yesus. Ketika saya belajar merenungkan penderitaan dan kematian Yesus Kristus lewat momen ini, saya melihat betapa dalamnya kasih itu. Darah Yesus itu bukan hanya menebus, tetapi juga membebaskan manusia. Bebas dari rasa bersalah, bebas dari luka masa lalu, dan bebas dari rasa tidak berharga. Darah-Nya adalah wujud nyata bahwa saya dicintai meskipun dunia menolak, tetapi Tuhan tetap memeluk. Bahwa meski saya ditinggalkan manusia, saya tidak pernah sendiri. Dalam pengorbanan Yesus, saya menemukan kekuatan untuk memaafkan, untuk bangkit, untuk tetap melangkah dan terus berjuang walaupun tertatih-tatih.
Roti: Tubuh yang Dipecah, Hati yang Diresapi
Setiap kali saya ikut Perjamuan Kudus, ada momen hening ketika roti dipecahkan dan anggur dituangkan. Itu bukan hanya sekedar simbol, tetapi itu adalah undangan untuk masuk dalam kasih cinta-Nya yang luar biasa: tubuh Kristus dipecahkan untuk saya, untuk kita semua. Roti itu mengingatkan saya bahwa kehidupan yang sedang kita jalani sering kali tidak utuh. Saya pun telah mengalami banyak "pecahan" dalam hidup ini. Tapi seperti roti yang dipecah, hidup yang pecah pun bisa menjadi sarana berkat, bila kita menyerahkannya kepada Tuhan. Melalui Perjamuan Kudus, kita diingatkan tidak hanya mengenang kematian Kristus, tetapi juga diundang untuk ikut ambil bagian dalam penderitaan dan kasih-Nya. Roti itu menjadi sumber kekuatan, dan hati kita yang kering pun kembali disirami oleh kehadiran-Nya. Dalam keheningan itu, saya belajar bahwa penderitaan tidak pernah sia-sia bila disatukan dengan salib Kristus.
Air Mata: Tangis Dosa dan Harapan
Secara pribadi ketika menghayati dan berusaha memaknai momen Jumat Agung atau penderitaan Yesus, saya menangis. Bukan karena luka yang saya rasakan, tetapi karena saya sadar betapa sering saya juga menyakiti Tuhan dan sesama dalam hidup sehari-hari. Mungkin kita tidak pernah menyadari bahwa sering kita membenci orang lain, kita pernah kecewa, pernah marah, bahkan kepada Tuhan sendiri. Kita bergumul dengan banyak emosi, dendam, iri hati, kecewa, takut, dan lelah. Namun, air mata yang jatuh bukan hanya tangisan duka, tetapi juga tangisan pertobatan. Tangisan yang muncul ketika saya tersadar bahwa dalam segala kelemahan dan keburukan saya, Tuhan tetap ada. Ia tidak pergi, Ia tidak membenci, Ia justru diam-diam hadir dalam gelap malam saya, untuk menanti saya kembali. Air mata itu menjadi jalan pembasuhan. Seperti hujan yang membasahi tanah yang kering, air mata menjadi tanda bahwa hati kita masih tetap hidup, bahwa ada harapan yang belum padam.
Penutup
Jumat Agung atau kematian Yesus bukanlah akhir, tetapi jalan menuju Minggu Paskah atau kebangkitan Yesus yang telah menang atas dosa. Salib bukan tanda kekalahan, tetapi awal dari kemenangan yang akan kita raih bersama Kristus. Dari peristiwa ini saya mulai mengerti bahwa pergumulan saya yang seperti perjalanan dipadang gurun bukan berarti Tuhan meninggalkan dan menjauh dari saya, justru di titik-titik paling gelap itulah, saya bisa mengenal kasih-Nya yang sejati. Saya mulai belajar memaafkan, saya mulai belajar mengasihi orang lain dengan kasih Yesus bukan karena saya kuat, tetapi karena salib mengajarkan saya tentang kasih yang tak bersyarat. Saya belajar membangun kembali hidup saya pelan-pelan, dengan iman yang mungkin sederhana, tetapi sungguh-sungguh dengan melakukan perubahan-perubahan kecil dalam hidup saya yang terlihat remeh dan biasa-biasa saja. Saya tahu bahwa hidup tidak akan selalu mudah. Akan ada Jumat Agung lainnya dalam hidup saya selanjutnya. Tapi saya percaya, selalu ada Minggu Paskah setelahnya.
Salib tidak hanya berdiri di atas bukit Golgota tetapi salib selalu hadir dalam setiap pelukan hangat, dalam doa sederhana yang kita panjatkan, dan dalam kebersamaan dengan orang-orang disekitar yang memiliki kasih yang tulus dan penuh cinta. Dan itu cukup bagi saya. Akhirnya, selamat mengenang dan memaknai penderitaan Yesus dalam hidup kita dan selamat mempersiapkan hati menyambut kemenangan (kebangkitan) itu. Soli Deo Gloria!