Iklan

Norma Global, Realitas Lokal: Belajar dari Surabaya tentang Pengelolaan Sampah

 

Norma Global, Realitas Lokal: Belajar dari Surabaya tentang Pengelolaan Sampah

Oleh, Azzallea Ega Riesta Christsanda
Mahasiswi S2 Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL UGM


Pernahkah kita bertanya bagaimana gagasan besar di tingkat global bisa menjadi praktik nyata di tingkat lokal? Konsep ini dikenal sebagai difusi norma, yakni proses adaptasi nilai-nilai global menjadi kebijakan atau praktik lokal (Finnemore & Sikkink, 1998). Proses ini melibatkan upaya transformasi ide-ide yang bersifat universal agar relevan dengan konteks sosial, budaya, dan politik di setiap daerah.

Salah satu norma global yang sering menjadi sorotan adalah Sustainable Development Goals (SDGs) yang digagas PBB. Kerangka ini menawarkan visi besar pembangunan berkelanjutan yang inklusif. Namun, mewujudkan gagasan ini tidaklah mudah. Proses difusi norma menghadapi tantangan besar, mulai dari resistensi aktor lokal, keterbatasan sumber daya, hingga dinamika politik yang kompleks.

Penting untuk memahami bahwa keberhasilan difusi norma tidak hanya bergantung pada adopsi formal melalui regulasi, tetapi juga pada penerjemahan norma tersebut ke dalam aksi nyata yang relevan secara lokal. Di sinilah kolaborasi lintas sektor, mulai dari pemerintah hingga masyarakat, menjadi sangat penting.


SDGs adalah contoh nyata norma global yang berupaya diterapkan di berbagai belahan dunia. Kerangka ini membawa pesan penting: pembangunan yang berkelanjutan harus melibatkan semua orang tanpa terkecuali (leave no one behind). Biermann et al. (2022) mengidentifikasi tiga dampak utama dari norma ini.
Pertama, SDGs menciptakan efek diskursif dengan membangun konsensus global tentang pentingnya keberlanjutan. Kedua, SDGs memiliki efek normatif yang mendorong negara-negara untuk menyesuaikan kebijakan dan regulasi domestik agar selaras dengan tujuan keberlanjutan. Ketiga, SDGs memunculkan efek institusional, dengan dibentuknya lembaga-lembaga baru untuk mendukung pelaksanaannya.

Namun, implementasi SDGs tidak bisa dilepaskan dari tantangan lokal. Norma ini harus diterjemahkan agar sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik masyarakat setempat. Di sinilah pentingnya lokalisasi SDGs—proses di mana nilai-nilai global diterapkan dengan cara yang relevan dengan konteks lokal.


Di tengah berbagai tantangan pengelolaan sampah di Indonesia, Surabaya berhasil tampil sebagai kota dengan pendekatan pengelolaan sampah yang inovatif dan efektif. Dengan jumlah sampah harian mencapai 1.800–2.000 ton, kota ini menghadapi tantangan besar. Namun, alih-alih menjadi masalah, Surabaya menjadikan sampah sebagai bagian dari solusi keberlanjutan.

Berbagai program diterapkan untuk mengatasi persoalan ini. Salah satunya adalah penerapan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle), yang didukung dengan infrastruktur pengelolaan sampah di Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Benowo. TPA ini tidak hanya mengolah sampah, tetapi juga menghasilkan energi listrik yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar.

Selain itu, Surabaya memperkenalkan kampanye unik Balik Kanan, yang mendorong rumah-rumah warga menghadap ke sungai. Ide ini sederhana, tetapi efektif dalam mengubah cara pandang masyarakat terhadap sungai sebagai aset lingkungan yang harus dijaga, bukan tempat pembuangan sampah. Pemerintah kota juga menyediakan komposter dan biopori di kampung-kampung untuk mendukung gerakan zero waste.

Surabaya juga membuktikan bahwa kolaborasi adalah kunci. Pemerintah menggandeng sektor swasta melalui program Corporate Social Responsibility (CSR), sekaligus memberdayakan komunitas lokal untuk berpartisipasi aktif dalam menjaga kebersihan lingkungan. Upaya ini sejalan dengan prinsip-prinsip good governance, seperti transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.


Apa yang dilakukan Surabaya adalah contoh nyata bagaimana norma global seperti SDGs dapat diimplementasikan dengan pendekatan lokal. Kota ini telah berhasil mengintegrasikan prinsip keberlanjutan ke dalam praktik sehari-hari, melibatkan masyarakat secara aktif, dan membangun kolaborasi lintas sektor.

Namun, keberhasilan ini tidak datang tanpa tantangan. Proses adaptasi norma global sering kali diwarnai dengan dinamika politik lokal, keterbatasan sumber daya, dan perbedaan prioritas di antara aktor-aktor yang terlibat. Selain itu, keberlanjutan inisiatif ini harus dijaga agar tidak tergerus oleh perubahan kebijakan atau agenda politik.

Tantangan lainnya adalah kesenjangan implementasi. Surabaya mungkin menjadi contoh yang berhasil, tetapi bagaimana dengan daerah lain di Indonesia? Banyak daerah yang masih tertinggal dalam hal pengelolaan sampah dan keberlanjutan. Hal ini menunjukkan bahwa difusi norma harus dilakukan dengan pendekatan yang inklusif, memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi di masing-masing daerah.


Keberhasilan Surabaya memberikan pelajaran penting tentang pentingnya lokalisasi norma global. Adaptasi nilai-nilai global seperti SDGs tidak cukup dilakukan melalui kebijakan formal, tetapi harus diterjemahkan ke dalam aksi nyata yang relevan secara lokal. Surabaya membuktikan bahwa kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dapat menciptakan solusi yang berkelanjutan.

Namun, pelajaran ini juga mengingatkan kita bahwa keberhasilan semacam ini membutuhkan komitmen yang kuat, koordinasi lintas sektor, dan keterlibatan masyarakat. Dengan semangat yang sama, kita perlu mendorong daerah lain di Indonesia untuk mengambil langkah serupa, menyesuaikan norma global dengan kebutuhan dan karakteristik lokal mereka.

SDGs bukan sekadar dokumen visi, melainkan panggilan untuk bertindak. Dan seperti yang ditunjukkan oleh Surabaya, keberhasilan norma global dimulai dari langkah-langkah kecil di tingkat lokal. Dengan kerja sama yang baik, mimpi keberlanjutan bukan lagi sekadar wacana, tetapi kenyataan yang bisa dirasakan oleh semua.

Dari Kota Pahlawan, Surabaya, kita belajar bahwa sampah bukanlah akhir dari cerita, melainkan awal dari perubahan.



Lebih baru Lebih lama