Iklan

Desentralisasi Penegakan Hukum Ketenagakerjaan Penyebab Ekosistem Hubungan Industrial Indonesia Tidak Sehat dan Tidak Produktif

 

Desentralisasi Penegakan Hukum Ketenagakerjaan Penyebab Ekosistem Hubungan Industrial Indonesia Tidak Sehat dan Tidak Produktif
Oleh, Dr.Subiyanto,S.Sos.,SH.,MKn.,CLA.


Jakarta I NUSANTARATALK.ID - Sebagaimana kita pahami bersama amanat konstitusi negara termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum" dan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan". Ketentuan dalam konstitusi negara ini merupakan hukum yang dicita-citakan (Ius constituendum) yang menjadi landasan filosofis dalam membuat regulasi ketenagakerjaan sebagai kebijakan pembangunan hubungan industrial Indonesia.


Pemerintah sudah menetapkan 8 (delapan) hukum baik 6 (enam) hukum materiil dan 2 (dua) hukum formiil sebagai regulasi ketenagakerjaan dengan sasaran terbangun ekosistem hubungan industrial Indonesia yang sehat dan produktif, artinya norma hukum pada regulasi yang existing mampu mewujudkan amanat regulasi yang ada yaitu terwujud hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan. Sebagaimana kita pahami bersama pascareformasi penegakan hukum ketenagakerjaan “Law Enforcement” masuk dalam paket Undang-Undang otonomi daerah, sebagaimana penjelasan huruf G Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Implikasinya pegawai penyidik negeri sipil (PPNS) masuk dalam organ 38 (tigapuluh) Disnaker Provinsi dan pengawai mediator masuk dalam organ 514 (lima ratus empat belas) Disnaker Kabupaten/Kota. 


Faktanya dari hasil penelitian disertasi penulis pada implementasinya norma hukum regulasi ketenagakerjaan yang berlaku terdapat gap yang tajam, yaitu rendahnya kepatuhan terhadap norma hukum regulasi ketenagakerjaan yang existing, sebagaimana dapat kita lihat pada tabel rasio kepatuhan terhadap regulasi ketenagakerjaan dibawah ini. 


Data Perusahaan hasil sensus kkonomi tahun 2016 Sejumlah 26.422.256 perusahaan , dibandingkan dengan sarana hubungan industrial sebagai kewajiban pengusaha,  dari buku data hubungan industrial Kementerian Ketenagakerjaan  bersumber dari wajib lapor ketenagakerjaan  (WLKP) pada Oktober tahun 2023, rasio kepatuhan 5 (lima) kewajiban pengusaha dalam regulasi ketenagakerjaan, terealisasi sebagai berikut : 1). Perusahaan daftar WLKP = 60.432 perusahaan (0,23%), 2). Membentuk LKS Bipartit = 23.155 perusahaan (0,09 %), 3). Membuat Peraturan Perusahaan (PP) = 38.654 perusahaan (0,15%) , 4).Membuat Struktur Skala Upah (SuSU)  63.551 perusahaan  (0,24%) dan 5).Membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sifatnya fakultatif jika diminta SP/SB =  15.930 perusahaan (0,06%).  


Dari  data ini sangat terang problematika norma hukum regulasi ketenagakerjaan yang formiil yaitu UU No.3 Th 1951 Tentang Pengawasan Perburuhan/Ketenagakerjaan dan UU No.2 Th 2004 PPHI sebagai instrumen penegakan hukum belum mampu mewujudkan kepatuhan terhadap regulasi ketenagakerjaan yang materiil sebagai norma hukum positif. Situasi dan kondisi ini belum mampu menciptakan ekosistem hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan, sebagaimana amanat regulasi ketenagakerjaan. Artinya dapat kita katakan hukum positif (Ius constitutum) yaitu implementasi regulasi ketenagakerjaan yang existing yaitu UU Ketenagakerjaan,  UU K3,  UU SP/SB, UU SJSN dan UU BPJS belum sesuai dengan hukum yang dicita-citakan (Ius constituendum).


Disinyalir pemicu permasalahan lemahnya penegakan hukum regulasi ketenagakerjaan, karena implementasi UU No.3 Th 1951 Tentang Pengawasan Perburuhan/Ketenagakerjaan, masuk dalam kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah.  Dampak dari operasionalisasi  penegakan hukum regulasi ketenagakerjaan pada masing-masing Disnaker Provinsi tidak ada keseragaman tindakan, hal ini terkait dengan kebijakan masing-masing Gubernur. Realitasnya  terlihat pada rasio jumlah pegawai pengawas ketenagakerjaan yang berstatus PPNS diseluruh Indonesia dibandingkan dengan jumlah perusahaan 26.422.256 (Data Sensus Ekonomi 2016), total pegawai pengawas ketenagakerjaan yaitu = 1552 orang (0,006%)  dengan rincian sebagai berikut : 1). Jumlah pegawai pengawas ketenagakerjaan pusat (Kemnaker RI) = 137 orang (0,001%) dan 2). Jumlah pegawai pengawas ketenagakerjaan daerah pada 38 Disnaker Provinsi = 1415 orang (0,005%), dengan catatan jumlah Mediator belum terdata.  


Dari data ini, nampak jelas rendahnya rasio jumlah pengawas ketenagakerjaan diseluruh Indonesia sangat minimalis, hal tersebut sangat relevan dengan data rasio kepatuhan terhadap regulasi yang existing yang juga sangat rendah, sebagaimana yang telah penulis uraikan diatas.  


Selain dari pada itu permasalahan lainnya dapat terjadi atau pernah terjadi produk hukum PPNS berupa surat penetapan dengan produk hukum Mediator berupa surat anjuran tentang obyek permasalahan hukum yang sama, produk hukumnya tidak sinkron maka hal itu menimbulkan ketidakpastian hukum. Faktor utama permasalahan ini karena ada hambatan komunikasi dan kordinasi antara PPNS yang notabene di Disnaker Provinsi dengan Mediator yang notabene di Disnaker Kabupaten/Kota. 


Dengan demikian penegakan hukum regulasi ketenagakerjaan terputus dengan mata rantai “Missing Link” dengan sistem hukum nasional sebagai induknya. Situasi kondisi  atas penegakan hukum regulasi ketenegakerjaan makin kompleks permasalahannya karena PemProv fokus mengejar peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) yang tidak sedikit abaikan tupoksinya sebagai penerima mandat dari Pemerintah Pusat urusan penegakan hukum regulasi ketenagakerjaan, ditambah lagi ada hambatan psikologis bagi PPNS sebagai petugas pengawasan ketenagakerjaan, karena disinyalir ada hubungan khusus oknum pejabat daerah dengan pimpinan perusahaan yang beroperasi didaerahnya, alih-alih diduga sebagai efek dari Pilkada dengan biaya tinggi. 


Rendahnya kepatuhan terhadap regulasi ketenagakerjaan yang existing berhubungan dengan permasalahan-permasalahan yang menjadi faktor penyebab ekosistem hubungan industrial belum sehat sehingga dialog sosial ketenagakerjaan yang merupakan mekanisme dalam menetapkan kebijakan pembangunan hubungan industrial belum berjalan konstruktif dan produktif akhirnya permasalahan hubungan industrial yang ada tidak terakomodir dalam mekanisme dialog sosial ketenagakerjaan pada forum Tripartit. Hal tersebut dapat kita lihat dengan fenomena tahunan maraknya unjuk rasa pekerja/buruh dikota-kota besar.  Bangsa Indonesia bisa belajar dari negara-negara industri maju, idealnya lembaga Tripartit sebagai  forum dialog sosial ketenagakerjaan mampu mencarikan solusi  atas semua permasalahan hubungan industrial yang terjadi ataupun potensi yang akan terjadi. 


Solusi Pembangunan Hubungan Industrial Untuk Membangun Indonesia Menjadi Negara Industri Maju


Bapak Jenderal (Purn) Prabowo Subiyanto Presiden RI pada tanggal 29 November 2024 sudah melakukan terobosan dan loncatan besar dalam pembangunan hubungan industrial Indonesia kedepan, dalam memutuskan kemelut kebijakan kenaikan upah minimum tahun 2025 dengan melakukan dialog sosial ketenagakerjaan dengan semua pemangku kepentingan, terobosan dan loncatan besar ini dijadikan milestone untuk mencegah supaya Indonesia tidak terbawa arus dan korban  globalisasi. 


Dalam rangka mewujudkan Indonesia menjadi negara industri maju, perlu melakukan rekonstruksi regulasi ketenagakerjaan yang integral dalam mewujudkan hubungan industrial berbasiskan keadilan Pancasila. Hal yang tidak kalah penting selain rekonstruksi regulasi ketenagakerjaan yang materiil sesuai pertimbangan hukum Majelis Hakim MK, Pemerintah perlu rekonstruksi regulasi hukum formiil ketenagakerjaan sebagai instrumen yang menegakan hukum materiil ketenagakerjaan supaya penegakan hukum regulasi ketenagakerjaan tidak terlepas dengan sistem hukum nasional, yaitu merevisi penjelasan lampiran huruf G Undang-undang No.23 Th 2014 tentang PemDa, agar operasionalisasi PPNS (Pegawai Penyidik Negeri Sipil) diubah PPNS yang sekarang menjadi organ di Disnaker Provinsi dan mediator yang berada di Disnaker Kabupaten/Kota menjadi organ Kementerian Tenaga Kerja. 


Urgensinya untuk membangun ekosistem hubungan industrial yang sehat, yaitu tegaknya norma perlindungan hukum regulasi ketenakerjaan yang existing, hal tersebut menjadi pondasi yang kuat untuk dialog sosial ketenagakerjaan. Paralel dengan hal itu, juga perlu untuk rekonstruksi regulasi UU No.3 Th 1951 Tentang Pengawasan Perburuhan/Ketenagakerjaan agar sesuai dengan tuntutan zaman yaitu pengawasan ketenagakerjaan yang melibatkan unsur tripartit  sebagaimana  konvensi ILO 81 tahun 1947 tentang pengawasan ketenagakerjaan dalam industri dan perdagangan. Disamping permasalahan itu secara hukum ada yang sangat substansi bahwa UU No.3 Th 1951 Tentang Pengawasan Perburuhan/Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan Undang-Undang No.13 Th 2022 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.12 Th 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undang, karena konsideran mengingat dalam UU No.3 Th 1951 merujuk Pasal 36 dan Pasal 89 UUDS RIS hal ini bertentangan dengan UUD 1945. 


Kita berharap keoada Pemerintah dibawah kepemimpinan Bapak Jenderal (Purn) Prabowo Subiyanto, Presiden RI bisa mengembalikan marwah dan wibawa penegakan hukum ketenagakerjaan untuk mewujudkan hubungan industrial Indonesia yang adil, sejahtera dan bermartabat...semoga !!!



Referensi:

1. Ahli hukum Ketenagakerjaan, lulusan PDIH UNISSULA-Semarang, Dosen dan Pusat Kajian Hukum Jamsos dan Ketenagakerjaan STIH Gunung Jati Kota Tangerang, Fungsionaris KSPSI, Anggota P3HKI, Anggota DJSN-Unsur Pekerja Periode 2014-2024, Advokat Peradi

2. Data Pusdatin Kemnaker RI 

3. Buku Data Kemnaker November 2023

Lebih baru Lebih lama