Danau Toba dan Status Kawasan Strategis Pariwisata Nasional
Danau Toba merupakan salah satu danau terbesar yang ada di Indonesia. Danau yang berlokasi di Provinsi Sumatera Utara ini adalah danau terluas se-Asia Tenggara serta yang paling besar kedua di dunia setelah Danau Victoria yang terletak di Afrika. Danau Toba dikelilingi tujuh kabupaten yakni Kabupaten Toba, Kabupaten Samosir, Kabupaten Semalungun, Kabupaten Dairi, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Karo, dan Kabupaten Humbang Hasundutan. Tak hanya danau, sekitaran kawasan Danau Toba juga terbentang pesona perbukitan Kaldera Toba yang tersusun dari dua bukit yakni Bukit Holbung dan Huta Ginjang. Danau Toba juga memiliki karakteristik budaya. Disekitarnya, terdapat banyak pemukiman masyarakat Batak dan Museum Budaya Batak. Berdasarkan nilai-nilai tersebut, Danau Toba ditetapkan sebagai Taman Bumi Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2014. Dalam Perpres 81/2014, areal Danau Toba ditetapkan menjadi Kawasan Strategis Nasional. Pada tahun 2015, Kementerian Pariwisata telah memasukkan Danau Toba dalam 10 besar destinasi prioritas sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) bersama dengan destinasi lainnya, yaitu Tanjung Lesung, Mandalika, Borobudur, Labuan Bajo, Bromo Tengger, Kepulauan Seribu, Wakatobi dan Morotai. Tujuannya, kunjungan wisatawan kesepuluh kawasan ini meningkat dan dapat bersaing dengan Bali yang popularitasnya sudah mendunia. Dengan demikian, Danau Toba bersama sembilan obyek wisata lainnya, menjadi salah satu destinasi wisata yang fokus dikembangkan pemerintah sebagai bagian dari proyek strategis. Dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016, proyek strategis nasional sektor pariwisata yang dimaksud meliputi percepatan infrastruktur transportasi, listrik, dan air bersih..
Badan Pelaksana Otorita Danau Toba : Kesejahteraan Rakyat atau Kepentingan Kapitalisme?
Pemerintah membentuk Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba berdasarkan Perpres 49/2016. Lewat Perpres ini, pemerintah menunjuk lembaga baru untuk mengembangkan kawasan wisata Danau Toba sebagai kawasan strategis pariwisata nasional. Beragam upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk terus meningkatkan pariwisata Danau Toba. Pemerintah melalui berbagai kementerian mengerjakan berbagai proyek untuk pengembangan kawasan Danau Toba. Kementerian PUPR, misalnya, pada periode 2020–2023 menganggarkan dana senilai Rp 1,4 triliun khusus untuk pembangunan kawasan Danau Toba. Salah satu programnya adalah pembangunan 596 unit sarana hunian pariwisata (homestay) di enam daerah sekitar Danau Toba. Proyek dilaksanakan dengan biaya Rp 121,9 miliar. Selain pembangunan homestay, dibangun pula fasilitas lainnya, seperti tempat untuk workshop, pertokoan, usaha kuliner dan koridor di sepanjang pinggir Danau Toba. Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba juga diberikan lahan sekitar 500ha dengan alas konsesi bagi perusahaan seabgai investor untuk pengembangan wisata di Danau Toba.
Pengelolaan Kawasan Danau Toba yang saat ini diserahkan kepada Badan Pengelola Otorita Danau Toba menunjukkan banyak perubahan di wilayah Danau Toba. Pengembangan besar-besaran saat ini tengah berjalan dimulai dari tempat wisataa baru, pembangunan hotel, fasilitas wisata, dsb seperti PT. Merek Indah Lestari yang memegang konsesi perhotelan, PT. Allegrindo Nusantara yang memegang konsesi kuliner dan pariwisata. Selain aspek pariwisata, di jantung Kawasan Strategis Nasional ini juga terdapat PT.Toba Pulp Lestari (PT TPL) yang memegang konsesi hutan berdasarkan Hak Pengelolaan Hutan. Keberadaan korporasi yang membawa investasi besar-besaran di wilayah Danau Toba ini menjadikan pengelolaan pariwisata di Danau Toba menuju konsep kapitalisme yang pro terhadap investor. Suseno (2000) menjelaskan bahwa kapitalisme adalah sistem ekonomi yang hanya mengakui satu hukum, yaitu hukum tawar-menawar di pasar. Kapitalisme adalah ekonomi yang bebas: bebas dari pelbagai pembatasan oleh raja dan penguasa, bebas dari pembatasan produksi, bebas dari pembatasan tenaga kerja, yang menentukan semata-mata adalah keuntungan yang lebih besar. Pendekatan Kapitalisme inilah yang senyatanya tengah terjadi di Kawasan Danau Toba. Pembangunan pariwisata yang justru memberikan konsesi lahan bagi pengembang/investor nyatanya tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk turut serta dalam pengembangan pariwisata di Danau Toba. Keberadaan the power of capitalism ini nyatanya menjauhkan kesempatan masyarakat sekitar untuk turut serta dalam pengelolaan Kawasan Danau Toba. Keberadaan Badan Otorita Pelaksana Danau Toba tak lebih dari corong kekuasaan yang memberi jalan mulus bagi investor (power of capitalism) dalam melakukan pengembangan di Kawasan Wisata Danau Toba.
New Institusionalism Pembangunan Kawasan Danau Toba
Pengertian pembangunan dapat diartikan berbeda-beda, mulai dari individu dengan individu lain hingga negara satu dengan negara lain. Akan tetapi, secara umum di dalam pembangunan terdapat suatu kesepakatan yang menjadi proses untuk melakukan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005). Pembangunan (development) merupakan proses perubahan yang mencakup seluruh system sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, Pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya (Digdowiseso, 2019). Pembangunan Kawasan Danau Toba dalam hal ini mencakup perubahan yang terjadi didalamnya. Kehadiran BPODT sebagai Badan yang langsung berada dibawah Presiden Republik Indonesia nyatanya justru sebagai pintu masuk kedatangan investor daripada sebagai sarana untuk perubahan ekonomi, sosial dan budaya yang lebih baik bagi masyarakat disekitar Kawasan Danau Toba. BPODT sebagai institusi dapat dikaji kembali dengan melakukan pendekatan efektifitas organisasi.
Neo-Institutionalism memiliki kesamaan perspektif dengan Institutionalism bahwa institusi merupakan pusat dari fenomena sosial politik. Teori tersebut membahas mengenai institusi dari sisi formal dan informal secara bersamaan. Fokus dari teori ini adalah melihat faktor pendorong dan penghambat dalam perubahan kelembagaan, serta interaksi yang terjadi antar institusi (Putra, dkk, 2019). Neo-Instutionalism menganjurkan sebuah negara yang kuat tetapi fungsinya terbatas. Fungsi tersebut hanya menjamin pasar, fungsinya dijalankan tanpa menghalangi pekerjaan, dan melindungi warisan dari orang lain. Neo-Institutionalism menjelaskan bahwa para aktor secara sadar memilih merevisi lebih banyak institusi daripada menjawabnya. Neo-institutionalism mengusahakan penataan ruang publik di bawah institusi untuk meniadakan kesetaraan ekonomi, sosial, dan politik yang semu. Pada dasarnya model dari Neo-Institutionalism sendiri ditentukan oleh keselarasan organisasi dengan lingkungannya dan organisasi harus dapat mencukupi tekanan eksternal yang ada di sekitarnya tersebut (Vargas-Hernández, 2008). Mengacu pada teori tersebut, kedudukan BPODT sudah selayaknya dikaji ulang. BPODT sebagai representasi negara harus dianalisis kembali kedudukannya. tentunya BPODT diharapkan bukan sebagai pemberi karpet merah bagi investor melainkan menjadi perwakilan negara yang memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Pengembalian wewenang bagi Pemerintah Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota juga dapat menjadi solusi dalam pelaksanaan pembangunan Kawasan pariwisata Danau Toba, sehingga dapat tercipta kebijakan yang lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat di sekitar Danau Toba, bukan kepentingan investor belaka.
Referensi
Kumba Digdowiseiso. 2019. Teori Pembangungan. Jakarta: Lembaga Penerbitan Universitas Nasional.
Putra, Fadhillah. 2019. Analisis Kebijakan Publik Neo-Institusionalisme : Teori dan Praktek. Jurnal LP3S ISBN: 978-602-784-40-0
Riyadi Dan Bratakusumah, 2005. Peran Masyarakat dalam Pembangunan, Multigrafika, Jakarta.
Vargas-Hernandez, Jose G. 2009. Institutional and Neo-Institutionalism Theory in the International Management of Organizations. 799. G-306. Jalisco, Mexico.