Sejak memutuskan untuk menerapkan demokrasi melalui pemilihan umum langsung, Indonesia telah menghadapi berbagai tantangan dalam mewujudkan hak pilih masyarakat. Sebagai elemen utama dalam pemilu, kedudukan masyarakat semestinya menjadi perhatian utama, sejalan dengan teori kontrak sosial yang dikemukakan oleh John Locke. Namun, hingga kini masih terdapat kendala yang menjadi hambatan, seperti ambang batas pencalonan (threshold) dan tingginya angka golongan putih (golput). Kedua persoalan ini memiliki keterkaitan yang erat.
Ambang Batas Pencalonan dan Angka Golput
Ambang batas pencalonan adalah angka minimum dukungan parlemen untuk mengusung calon presiden atau kepala daerah yang diatur melalui undang-undang. Di Indonesia, ambang batas pencalonan dalam Pemilu Presiden ditetapkan sebesar 20%, sedangkan untuk Pemilu Kepala Daerah bervariasi antara 6%-10%, tergantung jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Rinciannya:
• 10% untuk provinsi dengan DPT hingga 2 juta jiwa.
• 8,5% untuk DPT antara 2-6 juta jiwa.
• 7,5% untuk DPT antara 6-12 juta jiwa.
• 6,5% untuk provinsi dengan DPT lebih dari 12 juta jiwa.
Keberadaan ambang batas ini membuat pilihan calon presiden atau kepala daerah yang tersedia menjadi sangat terbatas. Peluang munculnya calon pemimpin alternatif yang bebas dari kepentingan elite politik atau oligarki menjadi semakin kecil. Sebaliknya, masyarakat sering kali dipaksa memilih calon yang disodorkan oleh elite partai, yang kerap terindikasi oleh adanya mahar politik, kepentingan oligarki, dan berbagai persoalan lainnya.
Kondisi ini secara tidak langsung menjadi salah satu penyebab tingginya angka golput pada beberapa pemilu terakhir. Sebagai contoh, pada Pemilu Presiden 2024, angka golput mencapai 18% (delapan belas persen), lebih tinggi daripada perolehan suara calon presiden dengan urutan terakhir, yang hanya meraih 16% (enam belas persen) suara. Sebab calon yang tersedia tidak benar-benar merepresentasikan keinginan masyarakat. Sehingga masyarakat yang memiliki hak pilih cenderung memilih abstain dalam pesta demokrasi yang menjadi hajat lima tahuanan ini.
Namun, ambang batas pencalonan juga memiliki manfaat positif, salah satunya adalah memperkuat dukungan parlemen terhadap pelaksanaan tugas eksekutif. Dalam proses legislasi dan pengelolaan anggaran, eksekutif sangat bergantung pada lobi dengan parlemen. Oleh karena itu, dukungan yang kuat dari parlemen menjadi penting. Meski demikian, muncul dilema: bagaimana hak pilih masyarakat tetap dapat terakomodasi dalam sistem pemilu yang memiliki ambang batas seperti di Indonesia?
Kotak Kosong sebagai Alternatif
Kotak kosong dalam pemilu memberikan pilihan bagi masyarakat untuk tidak memilih pasangan calon yang disediakan oleh partai politik. Opsi ini, yang dikenal sebagai blank vote, membuka ruang bagi pemilih untuk menyatakan ketidakpuasannya terhadap calon yang diusung. Konsep kotak kosong berbeda dengan fenomena golput yang sering terjadi di Indonesia.
Ketentuan tentang kotak kosong dapat dilihat dari praktik di beberapa negara. Di Prancis, masyarakat dapat memilih kotak kosong (blanc vote) dalam pemilihan presiden. Suara kotak kosong dicatat dan dihitung secara terpisah dari suara yang diperoleh oleh calon lainnya. Dengan demikian, kotak kosong menjadi media bagi masyarakat untuk menunjukkan ketidakpuasan mereka terhadap calon yang diusung partai politik.
Di Kolombia, kotak kosong juga diakomodasi dalam pemilu presiden dan wakil presiden. Apabila kotak kosong memenangkan suara mayoritas, pemilu harus diulang, dan partai politik wajib mengganti calon yang sebelumnya diusung. Hal ini menunjukkan adanya upaya negara untuk menjamin hak pilih masyarakat, bahkan dalam kondisi ketidakpuasan terhadap calon yang disediakan.
Di Indonesia, keberadaan kotak kosong ini dapat menjadi alternatif untuk menjembatani dilema antara kebutuhan akan ambang batas (threshold) dan hak pilih masyarakat. Namun, penerapannya tentu tidak tanpa tantangan. Proses pemilu dengan opsi kotak kosong berpotensi menyebabkan pemilu menjadi lebih panjang dan mahal. Pemilu ulang akan menyerap anggaran besar dan waktu yang lama, sehingga dapat menunda masa jabatan serta memperpanjang proses birokrasi.
Namun demikian, dalam konteks ius constituendum, diskursus tentang kotak kosong ini perlu didorong sebagai bagian dari reformasi pemilu di Indonesia. Pemilu sejatinya adalah pesta demokrasi rakyat, sehingga legitimasi terhadap hak pilih masyarakat harus menjadi prioritas utama. Jika ketidakpuasan masyarakat terhadap calon yang disodorkan oleh elite dibiarkan begitu saja, maka muncul pertanyaan mendasar: apakah pemilu masih merupakan pesta demokrasi rakyat, ataukah sekadar permainan elite politik?
Tulisan ini berupaya untuk memberikan refleksi kritis atas dilema ambang batas pencalonan dan pentingnya alternatif seperti kotak kosong dalam memperkuat legitimasi demokrasi di Indonesia. Sehingga kontestasi dan partisipasi yang menjadi kunci dalam proses demokrasi bisa terus tumbuh di Indonesia.