Iklan

Menguji Calon Pemimpin Daerah

Menguji Calon Pemimpin Daerah

Oleh: Roberto Duma Buladja



Hidup yang tidak teruji, tidak layak untuk dijalani. Ungkapan itu bersumber dari Socrates, seorang filsuf Yunani Klasik tersohor (470–399 SM). Ungkapan fenomenal itu dapat diartikan bahwa hidup menjadi bermakna bila semua hal (aktivitas) ditempuh didasarkan pada hasil berpikir (bernalar) alias dipertanyakan secara logis dan saksama. Siapa diri saya sesungguhnya? Apa tujuan terbesar dalam hidup saya? Apa saja aktivitas yang perlu saya jalani sehari-hari? Bagaimana seharusnya saya menjalani semuanya? Dan seterusnya.

Semua hal yang diamati sehari-hari, dirasakan, dialami, dan diyakini perlu untuk diperiksa ulang kebenarannya, untuk selanjutnya dilakukan atau diterapkan. Bagi Socrates, hidup manusia yang dituntun oleh pengetahuan dan kesadarannya akan terarah secara bagus dan berkualitas dalam mencapai kebahagiaan sejati (eudaimonia).

Pernyataan Socrates itu tentu berlaku pada semua lingkup kehidupan manusia, tak terkecuali dalam bidang politik. Kita perlu menyodorkan berbagai pertanyaan, misalnya: apa itu politik? Apa hubungan antara saya dan politik? Kenapa saya harus berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum (pemilu) atau pemilihan kepala daerah (pilkada)? Apa dampak dari hasil pemilu bagi kehidupan saya, terutama bagi nasib kesejahteraan masyarakat pada umumnya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sesungguhnya membantu kita untuk menguji daya sadar selaku warga (rakyat) yang memegang kendali atas nama demokrasi. Seseorang yang banyak bertanya tentu memudahkan dirinya memahami kemantapan hak (suara) politiknya dalam memilih pemimpin yang sesuai dan cocok dengan aspirasinya. 

Agenda tahapan pilkada 2024 sedang bergulir. Berkas pendaftaran para pasangan calon (paslon) telah melalui proses uji persyaratan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan akan ditetapkan sebagai paslon tetap dengan nomor urut. Meski “peluit” sebagai tanda kampanye belum dibunyikan, akan tetapi nuansa kompetitif terselip kampanye sudah terasa dan kian memanas. 

Amati saja akronim (singkatan) dan jargon “pemanis” para paslon yang mulai bertebaran melalui poster-poster di lini media sosial. Terbentuknya tim-tim sukses yang sibuk meracik strategi-taktik (stratak) pemenangan. Belum lagi kemunculan beragam rupa akun palsu penuh intrik dan gimik yang hari-hari ini kian memanas-manasi situasi jagat digital. Pilkada serentak yang berlangsung di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota se-Indonesia ini tampak sengit dan kompetitif. 

 
Kriteria Memilih Pemimpin
Bila menggunakan pikiran Socrates, maka menjelang momen pilkada 2024, terdapat dua hal yang patut dipertanyakan, yaitu: Apa saja kriteria pemimpin yang baik (ideal) bagi sebuah daerah? Dan, bagaimana seharusnya kita memilih calon pemimpin yang terbaik untuk daerah? Dua pertanyaan tersebut perlu diajukan guna membereskan dasar pengambilan keputusan (referensi) dan prioritas pilihan (preferensi) dalam memberikan hak politik kepada calon kepala daerah.

Memilih kepala daerah tentunya tidak sama dengan “memilih kucing di dalam karung”. Sebaiknya, setiap orang memiliki sikap hati-hati atau tepatnya bersikap kritis dengan cara memeriksa ulang (memverifikasi) secara rasional tentang segala hal mengenai kandidat yang akan dipilihnya. Seperti profil diri, pengalaman memimpin, gagasan dan visi-misi, serta arah tawaran program dari setiap kandidat. Namun, sikap verifikasi rasional itu perlu dielaborasi lebih lanjut dengan mengacu pada dua kriteria ideal dan spesifik, yang saya kutip dari pikiran Rocky Gerung. 

Rocky Gerung, yang adalah seorang pengajar (dosen) filsafat kerap kali menggunakan dua kriteria ini untuk menguji, membandingkan, dan bahkan memperdebatkan guna memastikan kelayakan seseorang menjadi pemimpin. Dua kriteria itu adalah intelektualitas dan etikabilitas.

Pertama, intelektualitas. Seorang calon kepala daerah harus memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni. Ia harus mampu mengurai sederetan problem utama yang dialami oleh masyarakat di daerahnya. Ia juga harus memiliki kajian yang tuntas tentang sektor unggulan dan strategis apa saja yang akan dikembangkan bagi perwujudan kesejahteraan masyarakat. Dari kejelasan uraian masalah dan potensi daerah itulah, lantas ia menawarkan program yang masuk akal, sinkron, nyata, dan tepat sasaran. Di dalamnya sudah termasuk kemampuan menjelaskan tentang proporsi ketersediaan anggaran daerah dalam mendukung program prioritas yang dirancangnya.

Sebaliknya, seorang calon pemimpin dengan kadar intelektual lemah biasanya datang berkampanye dengan visi yang mengawang-awang alias tak jelas arah. Suka bermain kata-kata alias bersilat lidah dengan tawaran program yang tidak nyata dan tak bisa diukur. Ia hanya mengumbar janji manis kesejahteraan.

Maka, pada momen kampanye nanti, warga memiliki kesempatan untuk bertanya dan berdiskusi terkait semua tawaran program dari kandidat. Warga berhak menguji kapasitas intelektualitas para paslon. Apakah semua omongan kandidat itu realistis, terukur, dan dapat diwujudkan ataukah tidak. 

Kedua, etikabilitas. Sebagaimana diterangkan oleh Rocky Gerung dalam banyak debat dan diskusi, bahwa etikabilitas adalah kemampuan seorang calon pemimpin dalam memahami dan mempraktikkan etika atau moral. Maka, verifikasi etis tentang: apakah calon pemimpin memiliki riwayat menipu masyarakat atau tidak? Apakah kandidat yang ada pernah mencuri uang rakyat alias korupsi atau tidak? Apakah ada praktik suap dan nepotisme (dinasti politik) yang pernah dilakukannya? Berbagai pertanyaan itu perlu diajukan guna menguji integritas dari setiap kandidat.

Untuk menguji kriteria bagian kedua ini, maka jejak pengalaman, jejak kejujuran berpolitik, serta kiprah kepemimpinan dari masing-masing kandidat perlu diselidiki secara akurat dan cermat. Sehingga, warga tidak boleh meloloskan kandidat yang punya beban masa lalu atau semacam ‘kotoran politik’ yang berpotensi menghambat kinerja kepemimpinannya

Dua kriteria pemimpin ideal itu sejatinya merupakan syarat utama untuk melahirkan pemimpin yang kredibel dan berkualitas. Kedua-keduanya dapat dijadikan ukuran untuk diuji oleh warga. Warga selaku pemegang hak suara tentunya masih memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk menyeleksi dan menimbang-nimbang kandidat mana yang terbaik berdasarkan dua kriteria tersebut.

Tentu terdapat kriteria lainnya sebagai acuan tambahan dalam memilih calon pemimpin, seperti elektabilitas (tingkat keterpilihan), popularitas (tingkat keterkenalan), dan bahkan “isi-tas” (tingkat kematangan/kemandirian finansial). Bagi saya, beberapa kriteria tambahan itu sejatinya akan mengikuti atau tergantung pada dua kriteria utama di atas.

Meskipun belum dapat dibuktikan sepenuhnya, akan tetapi seseorang yang memiliki intelektualitas dan etikabilitas cenderung dapat diterima oleh kalangan masyarakat luas (elektabilitas). Semua kriteria tambahan itu perlu dijadikan pertimbangan guna memperlengkapi referensi dan preferensi pilihan politik.

 
Logika Memilih Pemimpin
Pilkada sama dengan ujian politik bagi calon kepala daerah. Setiap pasangan calon (paslon) layaknya sedang berdiri di depan sebuah ruangan kelas yang berukuran besar. Masing-masing dari mereka kemudian memperkenalkan diri (profil) dan latar belakangnya, di dalamnya sudah termasuk rekam jejak kepemimpinan, beserta tawaran pokok-pokok pikiran (gagasan) unggulan untuk kemajuan daerah.

Mereka, para kandidat yang tampaknya sedang presentasi di depan kelas itu, sedang disimak oleh seantero rakyat di daerahnya. Setiap orang (warga) yang hadir di kelas itu memiliki hak untuk mengamati secara baik dan bijak, mempertanyakan, memilah-milah dan mempertimbangkan, dan akhirnya mengambil keputusan politiknya.

Berangkat dari logika tersebut, maka penting untuk memandang pilkada dengan beberapa hal berikut ini. 

Pertama, memilih pemimpin daerah yang benar dapat dilakukan dengan menggunakan dua kriteria ideal, yakni intelektualitas dan etikabilitas. Dua kriteria itu bisa dibilang objektif dan adil untuk menyaring pemimpin yang layak dan berkualitas. Pemimpin yang memiliki dua kapasitas itu tentu bukan hanya menjadi teladan (role model) bagi masyarakat, tetapi memungkinkan terwujudnya tata kelola pemerintahan dan birokrasi daerah yang bersih (good governance).

Kedua,  pilkada merupakan suksesi demokrasi lokal yang berperan penting bagi maju maupun mundurnya sebuah daerah. Salah atau benarnya memilih calon pemimpin tentu punya dampak yang serius pada tatanan kehidupan bersama. Pemimpin yang salah akan memperlakukan wewenang dan jabatan kepemimpinannya secara salah dan fatal. Konsekuensinya masyarakat tak terurus secara baik dan daerah berada di bawah garis ketertinggalan. Begitupun sebaliknya, pemimpin yang baik lahir dari proses yang baik dan benar, dengan kriteria pilihan yang jelas dan benar juga.

Ketiga, pilkada sebagai ajang memberikan reward (penghargaan) sekaligus punishment (sanksi) kepada para calon pemimpin (lihat Opini R.D Buladja dalam Malut Post, 03/09/2024). Dua pendekatan ini diterapkan secara bersamaan. Memilih salah satu kandidat sama dengan memberikan penghargaan berupa satu hak (suara) politik, dan sekaligus menghakimi kandidat lainnya dengan tidak memberikan hak suara. Maka, gunakanlah hak politik sebaik mungkin dengan dasar pengetahuan (kesadaran) politik yang benar. 

Keempat, pilkada sebagai pilar demokrasi lokal perlu dipandang sebagai momen konsolidasi bagi terbangunnya pendidikan dan kesadaran politik warga negara. Hal itu harus mampu dilakukan oleh setiap kandidat, partai politik, penyelenggara negara, kelompok-kelompok kepentingan, media massa, dan semua aktor politik. Kesadaran politik yang tinggi akan berdampak pada tingginya partisipasi politik. Dan, partisipasi politik yang tinggi tentu juga akan berpengaruh pada kepercayaan dan kualitas demokrasi itu sendiri.

Akhirnya, warga (rakyat) selaku pemegang hak politik memiliki peran penting dan strategis untuk menguji kematangan (kapasitas) politik para kandidat, sekaligus memastikan bahwa seluruh proses dan hasil pilkada tertuju untuk membangun peradaban politik lokal yang maju dan bermartabat.
 
*Roberto Duma Buladja, pengamat demokrasi politik lokal/pengajar di UKSW Salatiga.











Lebih baru Lebih lama