Tarakan I NUSANTARATALK.ID - Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Tarakan menyoroti masalah serius terkait supremasi hukum di Indonesia. Hal itu berangkat dari seruan dan sikap Pengurus Pusat GMKI yang mengintruksikan GMKI se-Indonesia untuk menggelar aksi demonstrasi.
Unjuk rasa itu tergabung dengan aliansi APIRMASI, yang pelaksanaannya pada hari Jumat, 24 Agustus 2024 alias bertepatan dengan pelantikan Anggota DPRD Kota Tarakan, yang berlangsung di Kantor Walikota Tarakan. Namun dalam prosesnya, diketahui tak mendapat respon yang baik dari DPRD Tarakan dan diduga mendapat tindakan represif dari aparat kepolisian.
Usai menggelar demonstrasi, GMKI Cabang Tarakan kembali menyoroti persoalan tersebut. Senada dengan kajian dan instruksi PP GMKI, Ketua Cabang GMKI Tarakan, Michael Jama, tetap menyatakan keprihatinannya terhadap upaya yang sempat dilakukan oleh Badan Legasi DPR RI yang dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Michael Jama menekankan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga seharusnya tidak ada lembaga lain yang merintangi pelaksanaannya. Namun, sehari setelah keluarnya putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, muncul indikasi bahwa Badan Legasi DPR RI lebih memilih mengakomodasi putusan Mahkamah Agung (MA) dibandingkan putusan MK.
Meski DPR RI kini telah menghentikan pembahasan RUU tersebut, namun pihaknya beranggap seluruh pihak harus tetap mengawal.
"Seperti yang kita ketahui bahwa sehari setelah putusan MK keluar, muncul upaya dari Badan Legasi DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) untuk merintangi putusan tersebut. Di mana Badan Legasi DPR RI tidak mengakomodasi putusan MK dan lebih memilih mengakomodasi putusan MA. Keputusan ini memberikan sinyal bahwa terjadinya konflik antara lembaga negara dan menurunnya check and balance dalam demokrasi Indonesia," ujarnya, Minggu (26/08/2024).
Situasi ini menurut GMKI Cabang Tarakan, menjadi tanda melemahnya supremasi hukum di Indonesia, terutama dalam hal penghormatan terhadap putusan MK. Jama menegaskan bahwa ketidakpatuhan terhadap putusan MK dapat berdampak buruk pada penegakan hukum dan stabilitas demokrasi di Indonesia.
"Hal ini menjadi tanda melemahnya supremasi hukum di Indonesia, terutama dalam konteks pelaksanaan dan penghormatan terhadap putusan MK,," tegas Michael Jama.
Lantaran merasa tak digubris dalam aksi tersebut, GMKI Cabang Tarakan juga menyampaikan mosi tidak percaya dan kecewa terhadap DPRD Kota Tarakan yang tidak sepenuhnya menemui dan mendengarkan aspirasi mahasiswa.
GMKI pun menilai sikap tersebut sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap suara rakyat yang mereka wakili.
"GMKI Cabang Tarakan nyatakan sikap Mosi Tidak Percaya dan Kecewa terhadap DPRD Kota Tarakan. Padahal, seperti yang kita tahu bahwa hari itu di waktu yang sama, DPRD Kota Tarakan yang terpilih dalam Pemilu tahun 2024 kemarin baru saja dilantik dan lokasinya sangat dekat dengan lokasi aksi, yaitu di Kantor Walikota Tarakan," tutur Ketua GMKJ Cabang Tarakan itu.
Selain kritik terhadap supremasi hukum dan respons DPRD Kota Tarakan, GMKI Cabang Tarakan juga menyayangkan tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap massa aksi. Menurut Michael Jama, beberapa peserta aksi mengalami kekerasan fisik, seperti diseret, ditendang, dan mengalami luka-luka. Dua orang bahkan harus mendapatkan perawatan medis oleh tim ambulans yang sudah disiapkan di lokasi.
Michael meminta, DPRD dan Polres Tarakan harus bertanggungjawab akan hal itu.
"Sangat disayangkan tindakan represif kepolisian terhadap masa aksi hari itu. Masa aksi ada yang diseret kedalam barisan Polisi, ada yang ditendang oleh polisi, ada yang mengalami luka-luka, memar-memar. Hal ini sudah tidak sejalan dengan tugas kepolisian yang sesungguhnya, yang seharusnya melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, malah justru bertidak represif terhadap masyarakat," lebih lanjut terang Michael Jama. (Team).