Gambar : Ilustrasi
Oleh, Yatatema Gea, S.H.,CTA.
Hukum Waris perdata, sangat erat
hubungannya dengan hukum keluarga, maka dalam mempelajari hukum waris perlu
dipelajari pula sistem hukum waris yang bersangkutan seperti sistem
kekeluargaan, sistem kewarisan, wujud dari barang warisan dan bagaimana cara mendapatkan
warisan.
Dalam hukum waris perdata,
berlaku suatu asas, yaitu apabila seseorang meninggal dunia (pewaris), maka
demi hukum dan seketika itu juga hak dan kewajibannya beralih kepada para ahli
warisnya, sepanjang hak dan kewajiban tersebut termasuk dalam lapangan hukum
harta kekayaan atau dengan kata lain hak dan kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang.
Sistem hukum waris perdata
memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem hukum waris lainnya, yaitu
menghendaki agar harta peninggalan pewaris sesegera mungkin dapat dibagi-bagi
kepada mereka yang berhak atas harta tersebut. Oleh karenanya, dalam pembagian
waris harus dilihat terlebih dahulu hukum yang mana yang akan digunakan oleh
para ahli waris dalam dalam menyelesaikan sengketa waris yang terjadi.
Dalam konteks hak waris, Menurut
R. Subkti di dalam KUHPerdata dikenal adanya 3 penggolongan terhadap anak-anak,
yaitu:
- Anak sah, yaitu anak yang lahir di dalam suatu perkawinan yang sah (250 KUHPerdata);
- Anak luar kawin yang diakui, yaitu anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tapi diakui oleh seorang ayah dan/atau seorang ibu.
- Anak luar kawin yang tidak diakui, yaitu anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, dan tidak diakui, baik oleh ayah maupun oleh ibunya.
Di dalam pasal 272 KUHPerdata
dinyatakan bahwa tiap-tiap anak yang dibenihkan di luar pernikahan, kemudian
dengan nikahnya bapak dan ibu biologisnya, maka anak tersebut menjadi anak sah
apabila keduanya sebelum menikah telah mengakuinya menurut ketentuan
undang-undang yakni tercatat dalam akta kelahiran si anak atau di dalam akta
pernikahan orang tuanya.
Pengaturan mengenai hak waris
anak luar kawin dari ayahnya berdasarkan ketentuan Pasal 863 KUHPerdata menyatakan
bahwa jika pewaris meninggal dunia dan meninggalkan keturunan yang sah (anak
sah) dan/atau suami istri, maka anak luar kawin yang diakui oleh ayahnya
memiliki hak untuk mewarisi 1/3 bagian dari harta warisan yang seharusnya
didapatkan oleh anak-anak sah, jika mereka ada.
Artinya, jika sang ayah mengakui
anak luar kawinnya, maka anak tersebut memiliki hak untuk menerima bagian
warisan sebesar 1/3 dari total harta yang seharusnya didapatkan oleh anak-anak
sah dan tentunya pembagian warisan berdasarkan Undang-undang. Dengan kata lain,
anak yang diakui akan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan anak-anak yang
dilahirkan dalam ikatan perkawinan sah, termasuk hak untuk mewarisi harta
peninggalan orang tua mereka.
Namun, penting untuk dicatat
bahwa apabila sang ayah tidak mengakui anak luar kawin tersebut, maka menurut
ketentuan tersebut, anak tersebut tidak akan mendapat bagian warisan. Dalam
konteks ini, pengakuan ayah terhadap status anak luar kawin menjadi faktor
kunci dalam menentukan apakah anak tersebut memiliki hak waris atau tidak. Jika
ayah tidak mengakui anak luar kawinnya, anak tersebut tidak akan memiliki hak
atas bagian warisan dari ayahnya.
Akan tetapi, disatu sisi juga
dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan yaitu UU No.1 tahun 1974 (Pasal 43
ayat 1), maka anak luar kawin yang tidak diakui pun dengan otomatis mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Dengan demikian, maka keharusan
seorang ibu untuk mengakui anak luar kawinnya seperti yang disebutkan dalam
Burgerlijk Wetboek adalah tidak diperlukan lagi. Begitu juga telah ditegaskan
di dalam Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut yang juga merupakan
bahagian dari reformasi hukum, sehingga si anak juga mempunyai hubungan yuridis
dengan ayah biologisnya apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum.
Jadi, dari perspektif hukum
positif, anak diluar nikah dapat memperoleh harta waris dari ayahnya jika ada
pengakuan dari ayahnya atau ada bukti yang sah.
Namun pada Putusan MK No.
46/PUU-VIII/2010 tersebut tidak ada pembatasan secara jelas bahwa putusan
tersebut hanya berlaku bagi anak zina atau anak luar kawin. sebagaimana diketahui bahwa
adanya pengertian anak yang tidak sah dalam UU No. 1 Tahun 1974 adalah anak
yang dilahirkan dalam pernikahan yang sah menurut agama namun tidak dicatatkan
pada lembaga yang berwenang dan kedua, anak yang tidak sah adalah anak yang
dilahirkan tidak dalam ikatan pernikahan yang sah.
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
- Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010