Para peletak sejarah selalu
berpegang pada prinsip ini, ‘’perjalanan 1000 langkah menuju
puncak selalu dimulai dengan langkah pertama.’’ Para musafir selalu berpegang
pada refleksi
tiga zona waktu yaitu masa lalu, hari ini, dan rencana ke masa depan.
Civitas GMKI yang saya hormati,
74 tahun rumah biru, seusia itulah kita menjadi bagian dari ribuan langkah
hingga hari ini.
Persis seperti para peletak sejarah, sejak 9 Februari 1950 silam, untuk sebuah
organisasi
pendidikan kader seperti GMKI ribuan langkah rasanya masih seperti langkah
pertama.
Dibilang tua di satu sisi, disisi yang lain aura generasi muda justru melekat
dengan sangat
progresif disetiap perjuangannya.
Kita bangga dengan semua catatan
progresif dari sejak awal hingga kini. Kita menyambutnya
dengan semangat dan jiwa nasionalisme. Kita juga patut bersyukur dengan
semangat iman
kristiani. Semua itu, menjadi sebuah kebanggaan yang dari rumah belajar ini
kita menimbah
kebijaksanaan, semakin beriman, semakin berilmu dan semakin sadar dan terlibat.
Seiring dengan kemajuan zaman yang
kita capai kini sebagai salah satu organisasi pendidikan
kader bersama kelompok Cipayung, menikmati era modern, teknologi digital
mutakhir, yang
mampu membuat organisasi ini bisa beradaptasi dan bertahan hingga kini, tidak
lepas dari
sense of space masa lalu.
Organisasi ini sudah jadi bagian dari kisah
perjuangan hidup para kadernya dan para kader menjadi bagian dari sejarah perkembangan organisasi
ini. Selama itu pula, rumah biru sudah mejadi saksi sejarah bangsa ini yang makin dibatasi
tembok kota, jalanan bersejarah hingga mengalami perubahan, namun terus eksis dan hidup
sebagai istana ingatan-the kingdom of memories.
Prinsip Nilai dalam spirit
Oikumenisme dan jiwa Nasionalisme sejak lahir di masa lalu hingga
74 tahun menjadi landasan iman untuk berjuang bersama, semacam prinsip hidup
bersama
sebagai umat Kristiani juga sebagai warga bangsa. Artinya sejarah melekat
dengan
berjalannya waktu dan sejarah juga bercerita menemukan esensinya secara
kontekstual.
Para kader adalah pengemban mandat sejarah yang dalam inspirasi iman kristiani
sebagai medan
juang profetik. Semua akan dibatasi oleh waktu, siapapun akan dibatasi ruangnya,
tapi
landasan moral dan tatanan etis sejak berdirinya organisasi ini akan tetap
hidup.
Idealisasi pandangan dan sejarah
lahirnya rumah biru tersebut terwujud dalam rumusan visi
dan misi sebagai panduan Oikumenisme dan nasionalisme sebagai prinsip
spiritualitas dan
perjuangan. Dua hal itulah, tiang penyangga Rumah Biru untuk menciptakan
keseimbangan
antara iman, ilmu dan pengabdian.
Ketiga keseimbangan itu adalah bagian integral dari pribadi kader secara utuh, nilai organisasi dan spiritualitas keterlibatan.
Pendidikan kader yang terintegrasi dengan baik
akan membuat kualitas sumber daya manusia terpelihara dengan sangat mengesankan. Spirit
Oikumenisme dan jiwa nasionalisme harus ditransformasikan pada konteks zaman hari ini.
Civitas GMKI yang saya hormati,
Perkembangan teknologi digital kini bergeser ke konsep Artificial Intellegence
(AI) sehingga
terjadi apa yang dinamakan the great disruption berlangsung menjadikan dunia
organisasi
yang kita jalani sekarang sama sekali berbeda dibanding sebelumnya.
Format dan
formulasi pendidikan kader harus terus berbenah diri demi seiring sejalan dengan konteks
zaman yang terus bergerak maju. Tentu saja tidak semua landasan dan prinsip nilai dalam
organisasi terutama yang sudah menjadi tonggak gerakan para kader yang sudah melekat
bertahun-tahun.
Bre Redana dalam sebuah kolomnya di
harian Kompas merefleksikan perkembangan dan
kemajuan itu seperti in, ‘’agak terlambat saya menyadari bahwa sekarang ini
yang namanya
diskusi memiliki sebutan baru, yakni talk show. Dalam talk show yang mengemuka
adalah
tontonan, mengajak orang sorak sorai.
John Green dalam bukunya The Anthtropocene Reviewed mengutarakan kekhawatiran
yang
sama bahwa Neurons dalam kepala manusia yang bekerja atas asas analog kini
berevolusi,
bekerja berdasarkan asas digital.
Senada itu Yuval Noah Harari juga curhat mengenai kesadaran manusia yang dalam hakekatnya dibentuk oleh tradisi bahasa dalam dialog-bergeser dengan cepat seiring lahirnya mesin cetak.
Dari sini kita mengambil pelajaran bahwa, dunia percetakan bermutasi ke dunia image atau citra. Kesadaran berbangsa yang menurut Benedict Anderson dibentuk oleh produk mesin cetak seperti koran dan membuat orang dari Sabang sampai Merauke merasa senasib sepenanggungan kini tinggal kenangan.
Hemat saya, apa yang diungkapkan diatas adalah fakta sebagai tantangan nyata
bagaimana
perjalanan organisasi ini kedepan setelah 74 tahun berjalan. Lantas, bagaimana
kita
memahami konteks tantangan yang demikian dalam dinamika organisasi kita agar
tidak eksis
hanya di usia 74 tahun tapi bisa menjangkau peradaban secara inovatif dan
kreatif.
Pada kesempatan istimewa ini, ijinkan saya berbagi satu dua refleksi sebagai bahan diskusi bersama menuju masa depan organisasi yang signifikan dan relevan. Thomas L. Friedman, kolumnis terkenal The New York Times, dalam bukunya tentang globalisasi: The World is Flat: A Brief History of the Twenty First Century (2005). Menurut Friedman, kekuatan-kekuatan globalisasi sudah menjadikan dunia ini seperti lapangan datar yang tidak lagi punya perbedaan berarti. Maksudnya, orang bisa sangat mobile untuk beraktivitas dari banyak tempat dan sangat fleksibel.
Itulah yang dimaksud dengan konteks ruang dan waktu. Ruang memberi posisi yang signifikan mengenai keberadaan organisasi ini. Waktu memberi relevansi mengenai esensi organisasi ini lahir. Masalahnya, kita sedang dalam situasi ada gangguan dari dalam yang bisa berakibat pada keroposnya pendidikan nilai.
Hari-hari ini, ada banyak orang seringkali
hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya di organisasi ini, hingga lupa diri tidak
punya empati untuk mendukung generasi penerusnya bergerak maju. Padahal semua kita datang
dan pergi. Ada masanya dan punya kontekz zaman sendiri-sendiri.
Sementara secara eksternal
perkembangan global menuntut adaptasi, modifikasi dan
inovasi. Adaptasi adalah soal ruang. Sedangkan modifikasi dan inovasi adalah
soal waktu.
berjalan seperti biasa-biasa saja tanpa ada kejutan progresif, inovatif dan kreativitas.
Hal ini, akan menjadi catatan sejarah bagi masa depan
demokrasi kita yang bermartabat dan berkelanjutan. Lebih dari itu, siapapun yang menjadi
pemenang dalam momentum ini harus diterima semua pihak dengan legowo sebagai mandat yang dipercayakan oleh rakyat untuk memimpin bangsa ini. Memenangkan pemilu artinya memenangkan Indonesia.
Dengan tema, Bangkitlah, Baharui
Hidupmu dan Beritakanlah Injil (Bdk. Mark 2:1-12), setelah
pengalaman melayani rumah biru memasuki empat tahun ini, saya memaknainya
sebagai
momentum untuk kolaborasi ditengah tantangan globalisasi teknologi digital dan
AI.
Komitmen kolaborasi akan menjadi loncatan berharga dalam mengakselerasi format
dan
formulasi pendidikan kader yang berkualitas.
Tidak sampai disitu, kita juga harus mengingatkan prinsip para musafir diatas bahwa dalam zona waktu masa lalu selalu kontekstual untuk direfleksikan, masa kini mengajarkan titik fokus dan konsistensi, dan masa depan adalah proyeksi untuk menghidupkan harapan pada keberlanjutan proses kaderisasi.
Harapan akan spirit Oikumenisme dan jiwa Nasionalisme tak boleh padam dengan
silaunya platform globalisasi. Seperti halnya kita, menapaki perjalanan 74 tahun:
Bangkit Ditengah Pergumulan.
Tinggi Iman
Tinggi Ilmu
Tinggi Pengabdian
Ut Omnes Unum Sint