Kerusakan lingkungan menjadi momok menakutkan bagi masa depan bumi dan
kesejahteraan manusia. Deforestasi, pencemaran, dan eksploitasi sumber daya
alam secara berlebihan telah membawa dampak negatif yang signifikan. Di tengah
situasi ini, penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran lingkungan menjadi
sebuah keharusan untuk menyelamatkan bumi.
Ketentuan mengenai hukum lingkungan hidup di Indonesia saat ini diatur
di dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 (selanjutnya disingkat UUPPLH) yang
merupakan regulasi generasi ketiga, serta Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun
2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-undang (selanjutnya disebut
Undang-undang Cipta Kerja) yang telah merevisi sejumlah pasal dalam UUPPLH.
Dalam konteks hukum, kerusakan lingkungan merupakan isu yang sangat
serius dan memerlukan perlindungan hukum yang kuat. Di Indonesia, isu kerusakan
lingkungan telah menjadi semakin krusial seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan yang cepat, yang seringkali tidak sejalan dengan keberlanjutan
lingkungan. Dampak negatif dari kerusakan lingkungan tidak hanya terasa saat
ini, tetapi juga akan mengancam masa depan generasi mendatang. Bencana alam
seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, dan tsunami merupakan beberapa
contoh bencana yang dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan lingkungan.
Fenomena ini menjadi semakin umum dan parah karena aktivitas manusia yang tidak
berkelanjutan menyebabkan perubahan dramatis dalam ekosistem alami.
Industri manufaktur dan pengolahan limbah merupakan dua sektor utama
yang memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian global. Namun,
keberadaan mereka juga bisa saja membawa dampak negatif terhadap lingkungan,
terutama dalam bentuk pencemaran udara dan air, emisi gas rumah kaca, serta
kerusakan tanah akibat penggunaan bahan kimia berbahaya. penting bagi industri manufaktur dan pengolahan limbah
untuk menerapkan praktik-produksi yang lebih ramah lingkungan, seperti
penggunaan teknologi bersih, manajemen limbah yang baik, dan penggunaan energi
terbarukan.
Regulasi lingkungan yang ketat dan penegakan hukum yang
efektif juga diperlukan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan
masyarakat. Beberapa dampak negatif utama yang dapat timbul yaitu :
Pencemaran Udara dan Air oleh Industri Manufaktur
Industri manufaktur seringkali menjadi sumber utama pencemaran udara dan
air. Emisi dari cerobong asap pabrik, limbah cair, dan limbah padat merupakan
beberapa contoh dampak negatif yang dihasilkan oleh aktivitas industri
tersebut. Partikel-partikel berbahaya yang terlepas ke atmosfer dan limbah
industri yang dibuang ke sungai atau laut dapat menyebabkan kerusakan
ekosistem, kerugian bagi kesehatan manusia, serta kerusakan infrastruktur
lingkungan.
Industri manufaktur juga berkontribusi terhadap pemanasan global melalui
emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen
oksida (NOx). Peningkatan suhu global yang disebabkan oleh emisi tersebut dapat
mengakibatkan perubahan iklim yang ekstrim, seperti kenaikan permukaan air
laut, cuaca yang tidak terduga, dan bencana alam yang lebih sering terjadi.
Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
Selain itu, penggunaan bahan kimia berbahaya dalam proses produksi industri manufaktur dapat meningkatkan risiko pencemaran tanah dan air. Bahan kimia seperti logam berat, pestisida, dan senyawa organik volatil dapat mencemari tanah dan air tanah, mengganggu ekosistem, serta berpotensi meracuni makanan dan sumber air minum. Pada Pasal 41 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menegaskan bahwa setiap orang wajib menjalankan upaya pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta dilarang menggunakan bahan berbahaya bagi lingkungan hidup.
Pengolahan Limbah yang Tidak Tepat
Industri pengolahan limbah bertanggung jawab atas pemrosesan dan pembuangan limbah dari berbagai sumber, termasuk industri manufaktur, rumah tangga, dan sektor lainnya. Tindakan Pengolahan Limbah yang Tidak Tepat antara lain Pembuangan limbah industri secara langsung ke sungai, danau, atau laut tanpa pengolahan terlebih dahulu, Pembakaran limbah padat tanpa kontrol emisi yang memadai, menyebabkan polusi udara, Penimbunan limbah beracun atau berbahaya tanpa tindakan pencegahan yang memadai, Penggunaan metode pengolahan limbah yang tidak ramah lingkungan atau tidak sesuai dengan standar keamanan sehingga, praktik pengolahan limbah yang tidak tepat dapat menyebabkan pencemaran tanah dan air. Pembuangan limbah yang tidak terkendali atau penggunaan teknologi pengolahan yang tidak memadai dapat meningkatkan risiko terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
Dalam kasus kerusakan lingkungan, bisa saja terjadi praktik licik yang
dilakukan oleh oknum para pihak yang mencoba menghindari pertanggungjawaban
atas dampak negatif yang mereka timbulkan seperti tindakan:
1.
Intimidasi
Terhadap Aktivis dan Masyarakat
Industri yang melakukan kerusakan lingkungan dapat menggunakan intimidasi atau ancaman terhadap aktivis lingkungan dan masyarakat lokal yang mencoba melaporkan atau mengungkap praktik pencemaran mereka. Ancaman terhadap keselamatan dan keamanan mereka membuat banyak orang takut untuk memberikan kesaksian atau bekerja sama dengan pihak berwenang.
2.
Upaya
Lobi Politik
Perusahaan atau industri yang memiliki kepentingan ekonomi yang besar dapat menggunakan lobi politik dan kontribusi keuangan untuk mempengaruhi pembuat kebijakan dan lembaga pemerintah sehingga regulasi lingkungan yang lebih ketat tidak diberlakukan atau dilonggarkan. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk melanjutkan praktik pencemarannya tanpa takut akan konsekuensi hukum.
3.
Praktek
Suap dan Imbalan Lainnya
Ada dugaan bahwa pelaku industri melakukan pembayaran suap kepada pejabat pemerintah dan petugas penegak hukum untuk menghindari penegakan hukum yang tegas. Suap ini mungkin dalam bentuk uang tunai, proyek-proyek infrastruktur, atau fasilitas-fasilitas lain yang diminta oleh penerima suap.
4.
Kurangnya
Transparansi dan Akuntabilitas
Kurangnya transparansi dalam proses penegakan hukum dan pertanggungjawaban industri atas kerusakan lingkungan juga memperburuk masalah ini. Pihak berwenang seringkali tidak memberikan informasi yang cukup kepada masyarakat tentang proses hukum yang sedang berlangsung atau hasil investigasi mereka, sehingga mengurangi tekanan dari publik untuk bertindak.
Eksistensi pengaturan sanksi pada ketentuan hukum lingkungan tepatnya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terbagi menjadi dua jenis, yakni sanksi administratif dan sanksi pidana. Keberadaan dan penerapan sanksi administratif pada ketentuan hukum merupakan suatu konsekuensi dari norma yang telah dirumuskan dalam bentuk larangan, perintah dan kewajiban yang bertujuan sebagai upaya penegakan ketentuan hukum itu sendiri, memberikan hukuman bagi setiap orang yang melanggar yang tentunya disesuaikan dengan ukuran berat/ringan/atau sedangnya tindakan pelanggaran yang dilakukan, sehingga adanya efek jera agar setiap orang tidak melakukan pelanggaran kembali, dan sebagai suatu upaya pencegahan agar setiap orang lainnya tidak melakukan pelanggaran.
Sanksi pelaku yang melakukan pelanggaran juga harus memperbaiki keadaan lingkungan yang telah dilanggarnya sebagaimana keadaan semula. Hal tersebut karena masalah lingkungan merupakan masalah yang kompleks, yang tidak cukup hanya diselesaikan dengan memberikan sanksi pidana saja yang berupa pidana penjara, kurungan dan denda.
Perbuatan yang dikategorikan kejahatan lingkungan hidup berdasarkan ketentuan UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja yaitu pada 69 ayat 1 berbunyi “Setiap Orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan Pencemaran Lingkungan” sehingga dapat dilihat pada Pasal 82 UU Cipta Kerja yang mempertegas keberadaan sanksi administratif dalam pelanggaran lingkungan hidup sampai dengan sangsi teguran tertulis hingga pencabutan Perizinan Berusaha.
Semantara itu, pada pasal Pasal 100 ayat (1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, maka merukuk pada pasal 103 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Penegakan
hukum lingkungan hidup oleh korporasi industri, terutama dengan adanya
Undang-Undang Cipta Kerja, memang menjadi tantangan yang besar. Namun,
tantangan ini harus diatasi dengan upaya bersama dari berbagai pihak untuk
memastikan bahwa lingkungan hidup dilindungi dan korporasi industri bertanggung
jawab atas perilakunya. Pemerintah perlu meningkatkan kapasitas lembaga penegak
hukum untuk menangani kasus-kasus pelanggaran lingkungan oleh korporasi
industri dengan efektif dan transparan. rganisasi non-pemerintah, aktivis
lingkungan, dan kelompok advokasi dapat berperan sebagai pengawas independen.
Kerjasama antara pemerintah dan sektor swasta juga penting untuk meningkatkan
pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Ini dapat mencakup penyusunan
kebijakan yang memihak lingkungan, investasi dalam teknologi hijau, dan
pengembangan praktik bisnis yang ramah lingkungan. Hanya dengan kolaborasi yang
kuat dan komitmen yang tegas, lingkungan hidup dapat terlindungi dari kejahatan
orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Oleh, Niatman Aperli Gea, S.E.,S.H.,CIAS
UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta KerjaSetiadi, Sanksi Administratif Sebagai Salah Satu Instrumen Penegakan Hukum Dalam Peraturan Perundang-Undangan.
Wiharyangti, Implementasi Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan dalam Kebijakan