Oleh: Tiklas Pileser Babua
Pada tahun 2017 awal mula saya bertemu dengan sosok yang menyimpan talenta irama petikan, ia dikenal sebagai sosok yang riang, mudah begaul meskipun kurang nyambung dalam dialog, selalu menyapa jika berpas-pasan.
Pertama kali duduk bersama, saya disuguhkan dengan petikan gitar usang yang ada di genggaman sang legenda, Ong nama akrabnya, Otniel Yauw nama lengkapnya. Otniel Yauw lahir pada 30 November 1967 di Akelamo, Kecamatan Sahu Timur, Kabupaten Halmahera Barat.
Ong yang selalu memainkan musik classic selalu mengundang tentram diwaktu duduk bersama. Ia jarang bernyanyi, hanya lihai dalam memainkan tali gitarnya. Sesekali mendesak pendengar untuk berkhayal. Ia berhasil menerjemahkan kata Emma Goldman, bahwa musik adalah filsafat yang berirama.
6 tahun lalu telah berlalu setelah saya bertemu dengan beliau, kini, pada 10 November 2023, ia dikabarkan telah berpulang pada sang Khalik, Tuhan Yang Maha Esa. Semoga amal ibadahnya dan segala kebaikan dapat menjadi sumber hidup kekal bersama Tuhan.
Kerinduan dan kesedihan menghantarkan saya untuk menulis secarik untuknya. Saya teringat gaya nyentrik beliau ketika menyapa saya: “Diklas, darimana? Ada gitar? Mari main gitar!”. Sosok tegak lurusnya pada gitar adalah senyawa yang menghibur dirinya dan para pendengarnya. Sungguh, kepergian beliau adalah gimik yang meninggalkan jejak penghibur bagi saya, dan kini tergantikan dengan suasana hitam membisu di halaman rumahnya. Selamat jalan Ong. Senandungmu akan selalu saya ingat. Terimakasih pernah menghibur saya dan pendengar lainnya lewat petikan gitar usang mu. Tuhan menjemputmu di Yerusalem Baru. Amin.
“Roma 14:8 (TB) Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.”