Oleh, Niatman Aperli Gea, SE.,SH.
Sudah menjadi hal yang
lumrah bagi transaksi jual-beli masyarakat saat ini terutama untuk transaksi
dalam jumlah besar atau untuk barang-barang tertentu yang tidak mudah
didapatkan. Maka, uang tanda jadi (UJT) bisa menjadi opsi jitu bagi para
pembeli untuk mendapatkan jaminan barang yang mereka inginkankan.
Bagi yang pernah transaksi
jual beli properti atau barang berharga lainnya, ada beberapa istilah yang
umunnya dikenal. Misalnya down payment (DP), nomor urut
pemesanan, dan uang tanda jadi (UTJ). Uang tanda jadi salah satu istilah yang
masih kurang familiar di masyarakat. UJT biasanya dikenal uang komitmen atau
sebagai pengikat persetujuan yang menjadi bukti keseriusan antara pembeli terhadap
pemesanan sebuah barang.
Banyak orang yang salah
membedakan UTJ dan DP sehingga sering dianggap sama. Pada
Kamus Besar Bahasa Indonesia uang tanda jadi merupakan uang yang dibayarkan
terlebih dahulu sebagai tanda telah terjadi transaksi. Jika dibandingkan
legalitas down payment (DP) jauh lebih mengikat, karena
penyerahan uang muka sudah masuk bagian dari tahap pembelian, artinya bukan
pemesanan lagi, pembayaran DP juga disertai dengan penandatanganan perjanjian
pengikat jual beli (PPJB) dan nominal yang harus dibayarkan pun diatur sesuai
dengan harga barang yang akan dibeli.
Ketika ingin melakukan
memesan sebuah barang supaya ada komitmen terlebih dahulu pembeli/konsumen
meberikan uang kepada penjual sebagai tanda jadi agar tidak diambil oleh calon
pembeli yang lain. Pemberian uang yang bersifat sebagai komitmen pembelian ini,
pihak penjual juga tidak akan lagi menawarkan pesanan unit rumah pilihannya
tersebut kepada pihak lain sampai dengan jangka waktu yang telah disepakati
bersama.
Pemberian uang tanda jadi
dapat terjadi secara lisan maupun secara tertulis, yang mana diatur dalam Kitab
Undang - Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu suatu bentuk perjanjian yang
merupakan bagian dari perikatan bisa merujuk dalam Buku ke III KUHPerdata.
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau
lebih yang disebut perikatan yang di dalamya terdapat suatu hak dan kewajiban
masing-masing pihak. Tidak semua perikatan harus dinyatakan secara tegas,
apabila menurut kebiasaan selamanya dianggap di perjanjikan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1347 KUHPerdata. Para pihak pada dasarnya mengakui
syarat-syarat adanya hak dan kewajiban.
Pada umumnya uang tanda
jadi tidak bisa dikembalikan, karena akan merugikan pihak pengusaha/penjual.
Uang pengikat tersebut biasanya digunakan untuk keperluan administrasi seperti
pembuatan form, pembelian materai, melakukan renovasi dan tidak akan menawarkan
atau melepas hunian tersebut kepada orang lain. Uang pemesanan dianggap
sebagai resiko konsumen jika melakukan membatalkan karena pihak penjual bakal
mengalami kerugian dan menolak tawaran dari peminat lain di tambah jika telah
mengeluarkan biaya administrasi.
Sebelum melakukan
perbuatan suatu perjanjian, perlu diketahui bahwa KUHPerdata mengatur ketentuan
mengenai syarat sahnya suatu perjanjian yang tertuang dalam pasal 1320
KUHPerdata, yakni :
1. Tercapainya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri.
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan,
3. Suatu hal tertentu,
4. Suatu sebab atau klausula yang halal
Perbuatan transaksi jual
beli juga bisa merujuk pada Pasal 1464 KUHPerdata, artinya jika suatu pembelian
dilakukan dengan memberi uang panjar, maka salah satu pihak tak dapat
membatalkan pembelian itu dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang panjarnya.
Perjanjian lahir ketika kedua belah pihak mencapai kata sepakat mengenai suatu
barang dan juga termasuk harga, meskipun barang belum diserahkan dan harga
belum dibayarkan atau dengan istilah asas konsensualitas menurut pasal 1458
KUHPerdata. Namun, perjanjian yang dibuat secara sepihak adalah tidak sah dan
bertentangan dalam ketentuan pasal 18 ayat 1a,b dan c UU No. 8 Tahun 1999
tentang Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Pasal 1244 KUH Perdata
mengatur tentang uang tanda jadi sebagai tanda keseriusan atau tanda niat
pembeli, sedangkan Pasal 1245 KUHPerdata mengatur hak dan kewajiban terkait
dengan pengembalian uang tanda jadi. Tanpa adanya uang tanda jadi, pembeli
mungkin tidak memiliki komitmen yang kuat untuk membeli barang tersebut. Hal
ini dapat meningkatkan risiko pembeli yang tidak serius, yang dapat membatalkan
pembelian dengan mudah atau mengubah pikiran mereka dengan cepat sehingga
menyebabkan penurunan penjualan dan resiko kerugian bagi perusahaan.
Pembatalan uang tanda jadi
bisa merujuk pada Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Jika suatu perjanjian dibuat dengan pemberian uang tanda jadi, pihak yang
memberikan uang tanda jadi tersebut memiliki hak untuk menuntut pihak yang tidak
melanjutkan transaksi untuk membayar ganti rugi. Apabila pihak yang memberikan
uang tanda jadi membatalkan perjanjian, pihak yang menerima uang tanda jadi
tersebut berhak mempertahankan uang tersebut sebagai ganti rugi. Namun, jika
pihak yang menerima uang tanda jadi yang membatalkan perjanjian tanpa alasan
yang sah, pihak yang memberikan uang tanda jadi berhak meminta pengembalian
uang tersebut dan juga dapat menuntut ganti rugi.
Sumber :
- Kamus Besar Bahasa indonesia (KBBI), Uang tanda jadi (UTJ), https://kbbi.kata.web.id/uang-tanda-jadi/
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)