Seringkali terdengar cerita tentang orang-orang sukses (Dalamistilah lain kaya raya) yang drop-out dari sekolah (high school dan atau
college). Di sini tercatat 112 orang, termasuk Steve Jobs.
Jumlah segitu terkesan 'banyak'. Dan 'fakta' ini sering
menggiring orang untuk meremehkan peranan sekolah. Buat apa sekolah tinggi
tinggi, toh para beliau yang sukses di atas semuanya drop-out?
Di era Perang Dunia 2, Amerika Serikat telah membangun bom
atom, di mana pengerjaannya sangat dirahasiakan (top-secret), diwadahi oleh
Manhattan Project.
Hanya sedikit yang tahu keberadaan proyek yang jauh lebih
kritikal dan rahasia. Namanya The Statistical Research Group (SRG). Di dalamnya
berkumpul otak otak paling cemerlang yang pernah ada. Tugasnya: memenangkan
perang dengan Statistik sebagai tools.
Abraham Wald, seorang matematikawan ikut bergabung. Dia
diberi tanggung jawab untuk menemukan solusi terkait dengan persoalan pelik
yang ditimbulkan oleh Jerman dengan meriam anti-serangan udaranya, the Flak.
Kepada beliau diserahkan data detail tentang pesawat tempur/bomber yang selamat kembali ke pangkalan namun penuh lubang akibat tembakan peluru Jerman.
Pucuk pimpinan menginginkan area yang tertembak dilapisi
pelindung (armor) agar lebih banyak lagi pesawat yang selamat. Tuntutan ini
terdengar rasional dan meyakinkan.
Masalahnya; terlalu banyak armor berarti manuvernya makin
lamban dan memboroskan fuel akibat kenaikan bobot signifikan; tetapi terlalu
sedikit maka dampaknya terhadap keselamatan tidak akan banyak berpengaruh.
Tugas Wald, secara spesifik, adalah menemukan solusi optimum.
Singkat cerita, Wald mengajukan usul yang mengejutkan dan
tampak tidak berkorelasi dengan perintah; Lapisan pelindung harus diposisikan
di area yang tidak terkena tembakan. (lihat ilustrasi di atas).
Saya tidak akan membahas detail kalkulasi matematikanya yang
bukan alang kepalang rumitnya, tetapi fokus pada argumentasi Wald.
1. Wald mengatakan asumsi ahli militer
keliru, karena hanya berbasis fakta yang diperoleh dari pesawat yang selamat.
Fakta ini hanya sebagian saja. Mereka mengabaikan implikasinya; yakni
selamatnya sejumlah pesawat , meski berlubang lubang kena sejumlah peluru,
merupakan evidence kuat bahwa area tersebut toleran terhadap tembakan fatal.
2. Sumber evidence yang jauh lebih
meyakinkan sebetulnya terletak pada pesawat yang tidak pernah kembali selamat
ke pangkalan. Pada pesawat inilah sebenarnya terdapat "missing holes"
(bukan tembakan yang meleset, tetapi 'celah' yang tidak teramati langsung).
Mereka tidak selamat, dan sudah pasti penyebabnya bukan karena tembakan pada
wings dan fuselage. Butir 1 menyajikan alasan yang sangat kuat.
3. Jika memang diperlukan armor, maka
area yang mesti dilindungi justru adalah area yang paling sedikit atau tidak
terkena tembakan (engines, cockpit). Ini merupakan implikasi butir 2
Sebagai orang yang awam matematika, saya membayangkan Wald
keheranan melihat data dan bertanya-tanya "Apa iya Jerman sengaja
menembaki area wing dan fuselage saja, terlepas mereka tahu atau tidak dampak
dari pilihan tersebut?"
Nama Abraham Wald tercatat sebagai salah satu penyumbang
besar yang menyebabkan Sekutu meraih kemenangan dalam PD2, bukan dengan senjata
konvensional tetapi dengan matematika. Gagasannya juga dipakai selama Perang
Korea dan Vietnam, terbukti banyak menyelamatkan nyawa pilot berikut pesawat
Amerika.
Kita kembali ke daftar orang sukses (kaya raya) yang drop-out
tadi.
Pertanyaannya bukan hanya "berapa banyak drop-out yang
sukses", tetapi juga "berapa banyak drop-out yang tidak sukses?"
Kalau pertanyaan tadi terjawab, saya yakin opini "tak
perlu sekolah tinggi agar bisa sukses" sangat layak diragukan.
Kegunaan matematika dalam kehidupan sehari hari, menurut
hemat saya, adalah mengasah kemampuan kita untuk mengajukan pertanyaan yang
tepat.
Pertanyaan yang tepat berawal dari abstraksi yang jitu,
bermuara pada hipotesis yang tepat, dan menggiring orang merumuskan masalah
secara tepat pula.